Monika: Perempuan Adat dari Kepulauan Aru

“Kemanapun saya pergi, apapun yang saya lakukan, label perempuan adat selalu melekat pada saya, I’m proud menjadi perempuan adat” Latar belakang kehidupan

“Kemanapun saya pergi, apapun yang saya lakukan, label perempuan adat selalu melekat pada saya, I’m proud menjadi perempuan adat”

Latar belakang kehidupan sebagai perempuan adat

Lahir dan dibesarkan di Desa terpencil Fatlabata di Pulau Koba, bagian dari Kepulauan Aru. Tanpa disadari, label perempuan adat telah melekat dalam diri Monika. Sebagai perempuan adat, Monika selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya. Baginya, ia bukan hanya mewakili dirinya sendiri, tetapi juga keluarganya dan nilai-nilai yang mereka junjung.

Kehidupan yang sangat bergantung dengan alam

“Kami, orang Aru, selalu menganggap alam sebagai ibu yang menyediakan segala sesuatu. Di Aru, semua kami punya, salah satunya laut”

Laut bukan hanya menyediakan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga menjadi penjaga bagi masyarakat Aru. Saat perubahan iklim terjadi, laut memberikan tanda-tanda agar mereka dapat bersiap. Dari laut, mereka belajar tentang kehidupan, membaca pertanda alam, dan memahami keseimbangan hidup. Tak heran, masyarakat Aru begitu bergantung pada laut sebagai salah satu sumber penghidupan.

“Anything fresh from the ocean, that’s something nobody can’t have it. I’m lucky to have this almost every single day”.

Masyarakat Aru masih mempertahankan banyak tradisi pesisir, salah satunya adalah panen teripang. Hasil panen ini tak hanya dinikmati sendiri, tetapi juga dibagikan ke seluruh warga sebagai bentuk kebersamaan.

Laut Aru adalah sumber kehidupan yang melimpah. Ikan batu-batu, udang tiger, hingga berbagai hasil laut lainnya bisa didapat dengan mudah. Jika tangkapan melimpah, masyarakat biasanya merebusnya dengan air garam lalu mengeringkannya agar lebih awet.

Bagi Monika, apa pun yang berasal dari laut sudah melekat dengan lidahnya sejak kecil. Rasa dan kenangannya telah menyatu, menjadi bagian dari jati dirinya.

Pengaruh orang tua yang sangat kuat membentuk tekad yang kuat dalam diri Monika

Berbeda dengan kebanyakan orang tua yang membatasi peran anak perempuan di rumah, Monika beruntung memiliki ayah, bermata pencaharian seorang nelayan, yang berpikiran terbuka.

Sejak kecil, ia diajarkan berenang di laut, bertahan hidup di hutan, memanjat tebing untuk mengambil sarang burung walet, hingga memanah untuk berburu. Tak hanya itu, sang ayah selalu menanyakan cita-citanya, menanamkan satu prinsip yang kuat: ‘Ilmu adalah senjata.’

Pengalaman pahit karena tak bisa mengenyam pendidikan tinggi membuat ayahnya bertekad agar Monika memiliki kesempatan lebih luas. Berkat dukungan itu, Monika kini berhasil menempuh pendidikan Bahasa Inggris di Yogyakarta dan Norwegia.

Tak hanya menempuh pendidikan formal, Monika juga aktif mengajar anak-anak di desanya. Mulai dari kelas Bahasa Inggris hingga edukasi pelestarian mangrove. Ia ingin menjadi role model bagi generasi muda, menunjukkan bahwa ilmu dan kepedulian harus berjalan beriringan.

Tak berhenti di sana, Monika juga berhasil mengajak para ibu di pasar untuk menjaga kelestarian hasil laut yang mereka dagangkan. Monika percaya, jika para ibu sudah turun tangan, anak-anak pun akan mengikuti. Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, di tengah komunitas sendiri.

Harapan untuk masyarakat Aru

Seiring waktu, Monika menyadari bahwa tradisi pesisir dan kelestarian laut di Aru semakin terkikis. Lewat peran yang ia jalani saat ini, Monika berharap masyarakat Aru tetap mengingat bahwa laut adalah sumber kehidupan dan tradisi mereka tak bisa dipisahkan darinya.

Lebih dari itu, ia ingin masyarakat Aru kembali pada identitas mereka, menjaga warisan yang telah turun-temurun.

“Karena ada yang harus dilindungi di laut Arafura”.

Why Perempuan Laut?

“Laut adalah sesuatu yang mengubungkan kami. Laut tidak pernah ada batasnya. Laut itu menenangkan. Laut benar-benar menjadi obat, tempat jiwa yang lelah. Laut menjadi alarm mengenai bahaya alam. Aku gak bisa hidup tanpa laut. Laut itu diri kita, emosi kehidupan kita”.

Other Storytelling

Discover our latest storytelling that explores the synergy between women’s empowerment and marine conservation.

“Kemanapun saya pergi, apapun yang saya lakukan, label perempuan adat selalu melekat pada saya, I’m proud menjadi perempuan adat” Latar belakang kehidupan

Indonesia, sebagai negara maritim, memiliki kekayaan hasil laut yang melimpah. Salah satu produk olahan ikan yang sangat populer di berbagai

Mari berkenalan dengan kak Ika… Ika Permatasari Olsen, biasa dipanggil Ika, adalah seorang pengembara gaya hidup yang tinggal di atas

Informasi Detil

Kirana Agustina

Kirana Agustina

Ocean Mama
Pendiri & Direktur Utama

Kirana memiliki latar belakang di bidang Ilmu Kelautan dan Lingkungan, Politik, dan Masyarakat, dengan fokus pada polusi plastik di laut.

Pada bulan Oktober 2019, ia berlayar bersama eXXpedition Round the World, sebuah tim yang seluruhnya terdiri dari perempuan yang mempelajari plastik di lautan. Ia adalah perempuan Indonesia pertama yang mengikuti perjalanan selama dua minggu melintasi Atlantik Utara dari Plymouth, Inggris, menuju Azores, Portugal, yang didukung oleh beasiswa dari International Maritime Organization.

Sebelum menempuh pendidikan pascasarjana, Kirana berpartisipasi dalam program United Nations-Nippon Fellowship pada tahun 2018 di Divisi Urusan Kelautan dan Hukum Laut di New York City. Ia kemudian melakukan penelitian tentang tata kelola laut di Australian National Centre for Ocean Resources and Security di Australia.

Sebelumnya, ia bekerja di Friends of Nature, People and Forests (FNPF), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sekretariat Regional Inisiatif Segitiga Terumbu Karang untuk Terumbu Karang, Perikanan, dan Ketahanan Pangan, dan World Resources Institute Indonesia.

Di waktu luangnya, Kirana senang bepergian, yoga, berenang, menyelam, dan mengunjungi kedai kopi lokal.

Detail Information

Kirana Agustina

Kirana Agustina

Ocean Mama
Founder & Managing Director

Kirana has a background in Marine Science and Environment, Politics, and Society, focusing on ocean plastic pollution.

In October 2019, she sailed with eXXpedition Round the World, an all-female crew studying ocean plastic. She was the first Indonesian woman to join a two-week journey across the North Atlantic from Plymouth, UK, to the Azores, Portugal, supported by a bursary from the International Maritime Organization.

Before her postgraduate studies, Kirana participated in the United Nations-Nippon Fellowship program in 2018 at the Division of Ocean Affairs and Law of the Sea in New York City. She then conducted research on ocean governance at the Australian National Centre for Ocean Resources and Security in Australia.

Previously, she worked at Friends of Nature, People and Forests (FNPF), Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Regional Secretariat of the Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security, and World Resources Institute Indonesia.

In her free time, Kirana enjoys traveling, yoga, swimming, diving, and visiting local coffee shops.

Detail Information

Michela Irawan

Michela Irawan

Tuna Girl
Co-Founder

Michella began her career in 2009 by managing her family’s second-generation business in the fishing industry, which has been operational for over 30 years. Her efforts have been focused on implementing a zero-waste model, including the management of fishing vessels, cold storage facilities, and katsuobushi (dried and fermented tuna) manufacturing. In 2015, Michella’s involvement with NEXUS, a global network focused on social impact, sparked her realization that she could merge her professional work with her passion for the ocean. This marked the beginning of her journey as the “Tuna Girl” in 2017.